Monday 7 December 2009

Baptisan: Respon terhadap Anugerah

Dengan tajam Yohanes Pembaptis menegaskan bahwa Dia yaitu Yesus Kristus akan datang membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api; dan alat penampi telah siap di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan (Mat. 3:11-12). Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi seseorang ketika mereka datang pada Tuhan. Yohanes Pembaptis menegur dengan keras dan mengatai orang Farisi dan orang Saduki, dua golongan pimpinan masyarakat pada jaman itu dengan sebutan ular beludak ketika mereka datang meminta diri untuk dibaptis. Orang Farisi adalah orang yang merasa dirinya paling mengerti Taurat dan orang Saduki adalah orang merasa dirinya paling mencintai bangsa.

Bukan penghormatan atau pujian yang mereka dapatkan namun justru teguran keras yang mereka terima karena Yohanes Pembaptis tahu apa yang menjadi motivasi mereka. Orang Farisi dan orang Saduki bukannya bertobat tetapi mereka hanya sekedar ingin mendapatkan legalitas dalam status sosial mereka saja, mereka menganggap dengan dibaptis mereka akan mendapatkan kekuasaan dan kekuatan lebih besar. Yohanes Pembaptis tidak mudah terkecoh dengan penampilan luar mereka yang indah karena itu ia merasa perlu untuk mengkoreksi dan menegur mereka secara terbuka dan langsung di depan mata mereka sendiri. Sebutan ular beludak untuk mereka merupakan fakta yang ingin dikatakan oleh Yohanes Pembaptis. Bahkan Tuhan Yesus sendiri di Matius 23 juga memberikan gambaran yang sama seperti Yohanes Pembaptis; kalimat yang senada juga diucapkan sendiri oleh Tuhan Yesus. Orang Farisi dan orang Saduki tidak membantah hal tersebut karena mereka sesungguhnya menyadari realita bahwa sebutan ular beludak memang sesuai untuk dirinya. Orang yang katanya “cinta Tuhan dan cinta bangsa“ sesungguhnya tidak lebih hanya seorang manipulator belaka.

Yohanes Pembaptis membukakan tentang kehadiran Yesus Kristus yang menjadi inti dari Firman, hanya karena Dialah, dirinya mau menjadi pembuka jalan. Yohanes Pembaptis memberikan perbandingan kualitatif antara dirinya dengan Yesus; baptisan yang dia berikan hanyalah sebagai tanda pertobatan akan tetapi Kristus Yesus akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan api (Mat. 3:11). Apa yang dikerjakan Yohanes Pembaptis di dalam baptisan hanya bersifat fenomenal belaka yakni merupakan respon dari pertobatan tetapi baptisan yang dilakukan oleh Kristus bersifat hakiki. Baptisan yang dilakukan Yohanes berbeda kualitas dengan baptisan yang dilakukan oleh Kristus maka kita perlu memahami kedua konsep baptisan ini.

Baptisan merupakan sakramen yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan Yesus (Mat. 28:19). Namun, sejak abad ke 18 muncul aliran anabaptis, aliran yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan gagasan teologis. Aliran anabaptis mau mengubah pengertian baptisan yang telah diajarkan Alkitab dan telah dimengerti manusia sejak ribuan tahun lalu. Mereka mempersempit arti baptisan dengan selam karena baptisan berasal dari kata baptizo (bahasa Yunani) yang artinya adalah selam. Dengan demikian orang yang dibaptis harus diselam ke dalam air bukan mencurahkan air di atas kepala.

Menurut logika, kalau arti kata baptizo berarti selam maka seharusnya di Alkitab tidak boleh ada kata baptis (Mat. 3:11) karena setiap kata “baptis“ harus diganti dengan kata “selam“. Baptizo tidak boleh dipahami sekedar dari arti kata saja. Kata Baptizo di Alkitab diterjemahkan dengan baptisan, yaitu sakramen baptisan. Kita tidak menjumpai satu kata pun di Alkitab ditulis dengan selam, sebagai contoh di Luk. 11:38 kata baptizo di sana diterjemahkan dengan mencuci tangan. Karena itu kita menolak pendapat yang dikemukakan oleh aliran anabaptis. Kata “selam“ sebagai arti kata “baptizo“ bukan arti kata dalam kekristenan tapi pikiran dunia diselipkan masuk dalam kekristenan.

Kata logos (bahasa Yunani) di Alkitab artinya adalah “Firman“ akan tetapi kata logos oleh seorang filsuf, yakni Heraklitos diartikan sebagai pikiran universal. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan oleh banyak orang yakni menafsirkan kata-kata dalam Alkitab dengan sembrono. Baptizo atau baptis jangan hanya dimengerti secara ekstensi, yakni selam atau percik tapi kita harus mengerti baptis secara esensi, yakni sebagai sakramen yang ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Alkitab mendefinisikan baptisan sebagai tanda pertobatan sesuai dengan isi berita yang diserukan: “Bertobatlah Kerajaan Sorga sudah dekat“. Yohanes Pembaptis hanya membaptis dari fenomena karena bagaimanapun juga ia hanyalah seorang manusia biasa sehingga sukar baginya untuk dapat mengerti secara tepat apa yang menjadi motivasi orang ingin dibaptis. Tidaklah mudah bagi kita dapat mengerti apakah seseorang sudah bertobat atau belum?

Ingat, Kristus akan datang dan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api yang menghanguskan karena Dia sudah siap untuk menampi, membersihkan dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung dan debu jerami akan dibakar dalam api yang tidak terpadamkan. Mendengar hal ini seharusnya orang Farisi dan orang Saduki disadarkan akan motivasi mereka yang salah namun sayang, mereka justru menganggap baptisan sebagai hal yang menyenangkan karena dapat mengangkat status sosial mereka. Sampai hari ini pun banyak orang yang berpendapat bahwa baptisan hanyalah sekedar upacara biasa. Kekristenan menyadarkan kita bahwa baptisan tidak boleh dimengerti hanya sebatas upacara tetapi baptisan harus dimengerti secara esensi, yaitu suatu momen yang menunjukkan bahwa Roh Kudus sudah bekerja terlebih dahulu atas kita dan kita hanya bereaksi saja. Calvin pun menegaskan bahwa baptisan adalah anugerah Allah yang mendahului respon manusia, the grace of God is prior to human response.

Manusia tidak mungkin dapat meresponi panggilan Allah hanya Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk dapat meresponi panggilan-Nya. Iman Kristen adalah iman reaksi bukan iman aksi maka jangan pernah sekali pun anda berpikir bahwa apa yang kita lakukan saat ini adalah demi untuk membantu orang lain. Tidak! Kita bukan sedang membantu orang lain melainkan kita sedang menggenapkan kehendak Tuhan dan memberikan respon yang tepat terhadap anugerah Tuhan. Ingat, kalau sampai detik ini kita masih dapat hidup dan melayani Tuhan itu bukan karena kehebatan kita melainkan hanya karena anugerah Tuhan semata. Tuhan masih berkenan menjadikan kita manusia berdosa menjadi rekan sekerja Allah, turut ambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Lalu bagaimana respon kita?

Jadi, baptisan merupakan proklamasi diri kita yaitu bagaimana kita bereaksi terhadap anugerah Tuhan. Kalau kita tidak mengerti akan hal ini maka kita hanya menjadi orang-orang yang sekedar melakukan aksi dan hanya menunggu reaksi. Sebagai contoh, orang selalu ingin mendapat reaksi yang positif sebagai hasil dari aksi perbuatan baik yang mereka lakukan dan orang akan menjadi marah kalau reaksi yang ia terima tidak sesuai dengan aksi yang mereka lakukan. Ketika orang berbuat baik maka ia pasti ingin mendapatkan imbalan dan ia akan menjadi marah kalau orang bereaksi negatif. Orang Kristen seharusnya bereaksi terlebih dahulu bukan aksi. Reaksi yang menyadari akan cinta kasih Tuhan yang besar yang telah menebus kita maka kita pasti akan menunjukkan aksi kita, yaitu ingin membalas cinta Tuhan tersebut dengan berbuat kasih pada orang lain dengan kasih yang seperti Tuhan. Anak Tuhan yang menyadari anugerah Tuhan pasti ingin menyenangkan hati Tuhan dengan segala sesuatu yang dikerjakannya.

Yohanes Pembaptis ingin menyadarkan orang Farisi dan orang Saduki bahwa mereka seharusnya bereaksi atas anugerah Tuhan. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Tuhan sungguh beranugerah atas mereka? Kita akan mengalami pertumbuhan dalam iman kalau hidup kita dibangun di atas esensi baptisan. Amanat Agung yang Tuhan Yesus berikan adalah supaya kita pergi memuridkan terlebih dahulu dan barulah kemudian membaptis mereka (Mat. 28:19-20) bukan sebaliknya dengan demikian baptisan tidak dilakukan dengan sembarangan. Lalu bagaimana dengan baptisan anak? Baptisan anak pun dilakukan karena anugerah Tuhan turun terlebih dahulu atas orang tua mereka sehingga mereka dapat lahir di tengah-tengah keluarga Kristen. Orang tua harus bertanggung jawab mendidik anak dalam iman pada Kristus; orang tua menjadi saluran berkat dan wakil Tuhan untuk mendidik anak yang dititipkan Tuhan tersebut. Hari ini, dengan dalih menyerahkan pilihan pada si anak banyak orang tua Kristen yang tidak mau membaptiskan anaknya. Namun sesungguhnya adalah mereka tidak mau bertanggung jawab mendidik anak dalam takut akan Tuhan Kristus. Anak yang lahir dalam anugerah harus mendapat anugerah juga. Konsep baptisan yang benar seharusnya semakin menyadarkan orang akan anugerah Tuhan yang penuh melimpah dan kita dapat bertumbuh dalam pengertian baptizo yang sejati.

Ingat, di balik baptisan ada tanggung jawab penampian, ada seleksi yang akan membuang kita ke dalam api kalau kita tidak beres. Ironisnya, hari ini orang justru meributkan baptisan hanya sebatas fenomena saja, yaitu hanya sampai sebatas caranya apakah diselam atau dipercik. Kalau kita hanya mengerti baptisan sampai sebatas selam atau percik maka itu berarti kita telah menggeser esensi penampian; kita telah melecehkan arti baptisan ke tempat yang paling rendah. Ingat, baptisan bukanlah tiket menuju ke surga karena ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya dengan dibaptis selam maka kita akan selamat. Salah! Kalau keselamatan hanya diperoleh melalui selam, lalu bagaimana dengan kematian Tuhan Yesus di atas salib untuk menebus dosa? Keselamatan bukan terletak di masalah selam atau airnya melainkan di dalam Kristus Yesus. Kalau demi untuk memperoleh keselamatan, orang harus dibaptis selam lalu bagaimana dengan orang yang sakit yang tidak dapat diselam?

Jadi, keselamatan merupakan anugerah Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan pula kalau kita dapat menyadari hal itu maka sebagai ucapan syukur, kita harus berespon atas anugerah itu. Ingat dan camkanlah bahwa: “Anugerah Allah mendahului respon manusia, the Grace of God is prior to human response“; Tuhan beranugerah manusia bereaksi terhadap anugerah, Tuhan yang berbuat baik terlebih dahulu pada kita dan manusia harus bereaksi atas kebaikan Tuhan tersebut yaitu dengan mengasihi sesamanya dengan kasih seperti kasih Tuhan. Tuhan yang beraksi terlebih dahulu dan manusia bereaksi dengan demikian kita mengerti siapa Tuhan dan siapa saya. Biarlah sebagai orang Kristen kita senantiasa menyadari bahwa hidup dan semua yang ada pada kita adalah anugerah-Nya; semua itu adalah milik kepunyaan-Nya jadi kita harus kembalikan semua yang ada pada kita demi untuk kemuliaan nama-Nya saja. Amin.

source: www.grii-andhika.org