1) Hukum ini berhubungan hanya dengan
sesama manusia.
Sekalipun
merusak / membunuh tanaman atau membunuh binatang secara sembarangan (tanpa ada
gunanya) bisa dikatakan sebagai sesuatu yang salah, tetapi itu bukan merupakan
pelanggaran terhadap hukum ini. Alasannya: hukum ini tidak pernah dikutip dalam
hubungan bukan dengan manusia, sebaliknya beberapa kali hukum ini dikutip dalam
hubungannya dengan sesama manusia. Misalnya:
- Mat 5:21-25 - “(21) Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. (22) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala”.
- Ro 13:9 - “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!”.
Juga, kalau kita melihat hukum yang
menjadi ringkasan dari hukum Taurat, yaitu Mat 22:37,39, maka jelaslah bahwa
hukum ke 6 ini harus diterapkan kepada sesama manusia.
Mat 22:37-40 - “(37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi.’”.
Catatan: Hukum keenam ini juga dikutip
dalam ayat-ayat di bawah ini, tetapi dalam ayat-ayat tersebut tidak terlihat dalam
hubungan dengan apa / siapa hukum itu digunakan.
Mat 19:18 - “Kata orang itu kepadaNya: ‘Perintah yang
mana?’ Kata Yesus: ‘Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan
mengucapkan saksi dusta”. Bdk. Mark 10:19 Lu 18:20.
Yak 2:11 - “Sebab Ia yang mengatakan: ‘Jangan berzinah’,
Ia mengatakan juga: ‘Jangan membunuh’. Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi
membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga”.
Contoh
pelanggaran terhadap hukum ini:
·
Membunuh
orang secara fisik.
Ini sudah jelas dan karena itu tidak akan saya beri
penjelasan lebih jauh lagi. Yang akan saya jelaskan di sini justru adalah
tindakan membunuh yang tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6
ini (tidak dianggap sebagai dosa).
John Murray: “The Commandment is not in the general term of prohibiting the putting to
death of another, as our word ‘kill’ might suggest. The term used in the
commandment is the specific one to denote what we call ‘murder.’” (= Hukum ini bukanlah dalam istilah umum
melarang membunuh orang lain, seperti kata ‘kill’ dalam bahasa kita.
Istilah yang digunakan dalam hukum ini adalah istilah spesifik yang menunjuk
pada apa yang kita sebut ‘murder’) - ‘Principles of Conduct’,
hal 113.
John Stott: “The commandment ‘You shall not kill’ would be better expressed ‘Do not
commit muder’ (NEB), for it is not a prohibition against taking all human life
in any and every circumstance, but in particular against homicide or murder” [= Hukum ‘Jangan membunuh (kill)’
akan dinyatakan dengan lebih baik ‘Jangan melakukan ‘murder’ (NEB),
karena itu bukan merupakan suatu larangan terhadap pembunuhan / pengambilan
semua nyawa manusia dalam seadanya dan setiap keadaan, tetapi secara khusus
dalam pembunuhan atau ‘murder’] - ‘The Message of the Sermon on the
Mount’, hal 82.
Catatan: dalam bahasa Inggris dibedakan
antara ‘to kill’ dan ‘to murder’, dan John Murray maupun John
Stott mengatakan bahwa yang dilarang adalah ‘to murder’, bukan ‘to
kill’. Tetapi dalam bahasa Indonesia tak ada pembedaan seperti itu.
Stott melanjutkan dengan memberi
bukti sebagai berikut: dalam hukum Taurat Musa sekalipun ada larangan membunuh
(hukum ke enam), tetapi juga ada penjatuhan hukuman mati, dan perintah untuk
membasmi bangsa kafir tertentu.
Adapun pembunuhan yang tidak bisa
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6 ini, bahkan bisa dikatakan
sebagai tidak berdosa, yaitu:
ü Pembunuhan yang dilakukan dalam
rangka pembelaan diri pribadi, dimana situasinya adalah ‘membunuh atau
dibunuh’. Ingat bahwa syarat yang satu ini harus ditekankan. Kalau ada
kemungkinan lain, misalnya lari, maka kita harus lari. Tetapi kalau hanya ada
dua kemungkinan, yaitu membunuh atau dibunuh, maka kita boleh membunuh sebagai
usaha untuk membela diri.
Dasar Kitab Suci untuk ajaran ini:
Mat 22:39 mengharuskan kita
untuk juga mengasihi diri sendiri.
Mat 22:39 - “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Jelas bahwa bukan hanya sesama
manusia yang harus kita kasihi, tetapi juga diri kita sendiri. Sedangkan kalau
kita membiarkan diri kita dibunuh, maka itu berarti kita tidak mengasihi diri
kita sendiri.
Kel 22:2-3a - “(2) Jika seorang pencuri kedapatan
waktu membongkar, dan ia dipukul orang sehingga mati, maka si pemukul tidak
berhutang darah; (3a) tetapi jika pembunuhan itu terjadi setelah matahari
terbit, maka ia berhutang darah”.
Ini suatu hukum yang kelihatan aneh,
bukan? Para penafsir mengatakan bahwa ini sebetulnya bukan sembarang pencuri,
karena yang digambarkan di sini adalah seorang pencuri yang masuk ke dalam
sebuah rumah dengan kekerasan, dengan mendobrak.
Pulpit Commentary: “Rather, ‘Breaking in’ - i.e. making forcible entry into a house. The
ordinary mode of ‘breaking in’ seems to have been by a breach in the wall” (= Lebih tepat, ‘Mendobrak’ - yaitu masuk
secara paksa / dengan kekerasan ke dalam sebuah rumah. Cara yang lazim untuk
‘mendobrak’ kelihatannya adalah dengan menembus tembok / dinding) - hal
185.
Orang seperti itu mungkin saja
mempunyai maksud untuk membunuh pemilik rumah, dan karena itu dalam kasus
seperti itu, pemilih rumah tidak salah untuk membunuhnya, sebagai suatu
tindakan pembelaan diri.
Bandingkan dengan terjemahan NIV
tentang Kel 22:2 yang berbunyi: “If
a thief is caught breaking in and is struck so that he dies, the defender
is not guilty of bloodshed”
(= Jika seorang pencuri kedapatan waktu mencuri dan dipukul sehingga mati, pembela
diri itu tidak bersalah melakukan pencurahan darah).
Wycliffe Bible
Commentary:
“A mortal blow struck in darkness in
defense of life and property was excused, but in the light of day, it was
reasoned, such violent defense would not be necessary. The life, even of a
thief, is of consequence in the eyes of God” (= Suatu pukulan yang mematikan yang dilakukan dalam gelap dalam
pembelaan nyawa dan milik dimaafkan, tetapi pada waktu hari terang / siang,
dipertimbangkan bahwa pembelaan bengis / keras seperti itu tidaklah diperlukan.
Nyawa, bahkan dari seorang pencuri, merupakan sesuatu yang penting dalam
pandangan Allah).
Keil & Delitzsch mengutip
kata-kata seorang yang bernama Calovius yang berkata sebagai berikut: “The reason for this disparity between a thief by night and one in the
day is, that the power and intention of a nightly thief are uncertain, and
whether he may not have come for the purpose of committing murder; and that by
night, if thieves are resisted, they often proceed to murder in their rage; and
also that they can neither be recognised, nor resisted and apprehended with
safety” (= Alasan untuk
perbedaan antara seorang pencuri pada malam dan pada siang ini adalah, bahwa
kekuatan dan maksud dari pencuri pada malam tidaklah pasti, dan apakah ia tidak
datang dengan tujuan membunuh; dan bahwa pada malam, jika pencuri dilawan,
mereka sering beralih pada pembunuhan dalam kemarahan mereka; dan juga bahwa
mereka tidak bisa dikenali, ataupun dilawan dan ditahan dengan aman).
Pulpit Commentary: “The principle here laid down has had the sanction of Solon, of the Roman
law, and of the law of England. It rests upon the probability that those who
break into a house by night have a murderous intent, or at least have the
design, if occasion arise, to commit murder” (= Prinsip yang diberikan di sini telah mendapatkan persetujuan dari
Solon, dari hukum Romawi, dan dari hukum Inggris. Itu didasarkan pada
kemungkinan bahwa mereka yang mendobrak masuk ke dalam sebuah rumah pada malam
hari mempunyai maksud untuk membunuh, atau setidaknya mempunyai rencana, jika
dibutuhkan, akan melakukan pembunuhan) - hal 185.
Neh 4:11-14 - “(11) Tetapi lawan-lawan kami berpikir:
‘Mereka tidak akan tahu dan tidak akan melihat apa-apa, sampai kita ada di
antara mereka, membunuh mereka dan menghentikan pekerjaan itu.’ (12) Ketika
orang-orang Yahudi yang tinggal dekat mereka sudah sepuluh kali datang
memperingatkan kami: ‘Mereka akan menyerang kita dari segala tempat tinggal
mereka,’ (13) maka aku tempatkan rakyat menurut kaum keluarganya dengan
pedang, tombak dan panah di bagian-bagian yang paling rendah dari tempat
itu, di belakang tembok, di tempat-tempat yang terbuka. (14) Kuamati semuanya,
lalu bangun berdiri dan berkata kepada para pemuka dan para penguasa dan kepada
orang-orang yang lain: ‘Jangan kamu takut terhadap mereka! Ingatlah
kepada Tuhan yang maha besar dan dahsyat dan berperanglah untuk
saudara-saudaramu, untuk anak-anak lelaki dan anak-anak perempuanmu, untuk
isterimu dan rumahmu.’”.
Kitab Ester menunjukkan bahwa
pada waktu orang Yahudi mau dibasmi, mereka membela diri, dan membunuh
orang-orang yang mau membunuh mereka. Dan tindakan ini tidak pernah disalahkan
/ dikecam oleh Tuhan (Ester 3:8-13 8:3-13 9:1-6).
Ester 3:8-13 - “(8) Maka sembah Haman kepada raja
Ahasyweros: ‘Ada suatu bangsa yang hidup tercerai-berai dan terasing di antara
bangsa-bangsa di dalam seluruh daerah kerajaan tuanku, dan hukum mereka
berlainan dengan hukum segala bangsa, dan hukum raja tidak dilakukan mereka,
sehingga tidak patut bagi raja membiarkan mereka leluasa. (9) Jikalau baik pada
pemandangan raja, hendaklah dikeluarkan surat titah untuk membinasakan
mereka; maka hamba akan menimbang perak sepuluh ribu talenta dan
menyerahkannya kepada tangan para pejabat yang bersangkutan, supaya mereka
memasukkannya ke dalam perbendaharaan raja.’ (10) Maka raja mencabut cincin
meterainya dari jarinya, lalu diserahkannya kepada Haman bin Hamedata, orang
Agag, seteru orang Yahudi itu, (11) kemudian titah raja kepada Haman: ‘Perak
itu terserah kepadamu, juga bangsa itu untuk kauperlakukan seperti yang
kaupandang baik.’ (12) Maka dalam bulan yang pertama pada hari yang ketiga
belas dipanggillah para panitera raja, lalu, sesuai dengan segala yang
diperintahkan Haman, ditulislah surat kepada wakil-wakil raja, kepada setiap
bupati yang menguasai daerah dan kepada setiap pembesar bangsa, yakni kepada
tiap-tiap daerah menurut tulisannya dan kepada tiap-tiap bangsa menurut
bahasanya; surat itu ditulis atas nama raja Ahasyweros dan dimeterai dengan
cincin meterai raja. (13) Surat-surat itu dikirimkan dengan perantaraan pesuruh-pesuruh
cepat ke segala daerah kerajaan, supaya dipunahkan, dibunuh dan dibinasakan
semua orang Yahudi dari pada yang muda sampai kepada yang tua, bahkan anak-anak
dan perempuan-perempuan, pada satu hari juga, pada tanggal tiga belas bulan
yang kedua belas - yakni bulan Adar -,dan supaya dirampas harta milik
mereka”.
Ester 8:3-13 - “(3) Kemudian Ester berkata lagi kepada raja
sambil sujud pada kakinya dan menangis memohon karunianya, supaya dibatalkannya
maksud jahat Haman, orang Agag itu, serta rancangan yang sudah dibuatnya
terhadap orang Yahudi. (4) Maka raja mengulurkan tongkat emas kepada Ester,
lalu bangkitlah Ester dan berdiri di hadapan raja, (5) serta sembahnya:
‘Jikalau baik pada pemandangan raja dan jikalau hamba mendapat kasih raja, dan
hal ini kiranya dipandang benar oleh raja dan raja berkenan kepada hamba, maka
hendaklah dikeluarkan surat titah untuk menarik kembali surat-surat yang berisi
rancangan Haman bin Hamedata, orang Agag itu, yang ditulisnya untuk
membinasakan orang Yahudi di dalam semua daerah kerajaan. (6) Karena bagaimana
hamba dapat melihat malapetaka yang menimpa bangsa hamba dan bagaimana hamba
dapat melihat kebinasaan sanak saudara hamba?’ (7) Maka jawab raja Ahasyweros
kepada Ester, sang ratu, serta kepada Mordekhai, orang Yahudi itu: ‘Harta milik
Haman telah kukaruniakan kepada Ester, dan Haman sendiri telah disulakan pada
tiang karena ia sudah mengacungkan tangannya kepada orang Yahudi. (8) Tuliskanlah
atas nama raja apa yang kamu pandang baik tentang orang Yahudi dan meteraikanlah
surat itu dengan cincin meterai raja, karena surat yang dituliskan atas nama
raja dan dimeteraikan dengan cincin meterai raja tidak dapat ditarik kembali.’
(9) Pada waktu itu juga dipanggillah para panitera raja, dalam bulan yang
ketiga - yakni bulan Siwan - pada tanggal dua puluh tiga, dan sesuai dengan
segala yang diperintahkan Mordekhai ditulislah surat kepada orang Yahudi, dan
kepada para wakil pemerintah, para bupati dan para pembesar daerah, dari India
sampai ke Etiopia, seratus dua puluh tujuh daerah, kepada tiap-tiap daerah
menurut tulisannya dan kepada tiap-tiap bangsa menurut bahasanya, dan juga
kepada orang Yahudi menurut tulisan dan bahasanya. (10) Maka ditulislah pesan
atas nama raja Ahasyweros dan dimeterai dengan cincin meterai raja, lalu dengan
perantaraan pesuruh-pesuruh cepat yang berkuda, yang mengendarai kuda kerajaan
yang tangkas yang diternakkan di pekudaan, dikirimkanlah surat-surat (11) yang
isinya: raja mengizinkan orang Yahudi di tiap-tiap kota untuk berkumpul dan
mempertahankan nyawanya serta memunahkan, membunuh atau membinasakan segala
tentara, bahkan anak-anak dan perempuan-perempuan, dari bangsa dan daerah yang
hendak menyerang mereka, dan untuk merampas harta miliknya, (12) pada hari
yang sama di segala daerah raja Ahasyweros, pada tanggal tiga belas bulan yang
kedua belas, yakni bulan Adar. (13) Salinan pesan tertulis itu harus
diundangkan di tiap-tiap daerah, lalu diumumkan kepada segala bangsa, dan orang
Yahudi harus bersiap-siap untuk hari itu akan melakukan pembalasan kepada
musuhnya”.
Ester 9:1-6 - “(1) Dalam bulan yang kedua belas - yakni
bulan Adar -,pada hari yang ketiga belas, ketika titah serta undang-undang raja
akan dilaksanakan, pada hari musuh-musuh orang Yahudi berharap mengalahkan
orang Yahudi, terjadilah yang sebaliknya: orang Yahudi mengalahkan
pembenci-pembenci mereka. (2) Maka berkumpullah orang Yahudi di dalam
kota-kotanya di seluruh daerah raja Ahasyweros, untuk membunuh orang-orang yang
berikhtiar mencelakakan mereka, dan tiada seorangpun tahan menghadapi mereka,
karena ketakutan kepada orang Yahudi telah menimpa segala bangsa itu. (3) Dan
semua pembesar daerah dan wakil pemerintahan dan bupati serta pejabat kerajaan
menyokong orang Yahudi, karena ketakutan kepada Mordekhai telah menimpa mereka.
(4) Sebab Mordekhai besar kekuasaannya di dalam istana raja dan tersiarlah
berita tentang dia ke segenap daerah, karena Mordekhai itu bertambah-tambah
besar kekuasaannya. (5) Maka orang Yahudi mengalahkan semua musuhnya: mereka
memukulnya dengan pedang, membunuh dan membinasakannya; mereka berbuat
sekehendak hatinya terhadap pembenci-pembenci mereka. (6) Di dalam benteng
Susan saja orang Yahudi membunuh dan membinasakan lima ratus orang”.
Alasan lain adalah: kalau kita
membiarkan diri dibunuh, maka nanti si pembunuh itu juga harus dihukum mati,
sehingga akan ada 2 orang yang mati. Sedangkan kalau kita membunuhnya sebagai
tindakan bela diri, yang mati hanya satu orang.
Banyak orang tidak menyetujui ajaran
ini berdasarkan:
o
Mat 5:39b
- “Janganlah melawan orang yang berbuat
jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah
juga kepadanya pipi kirimu”.
Tetapi
perlu diingat bahwa Mat 5:39 menggunakan istilah ‘menampar’ yang jelas
tidak membahayakan jiwa, bukannya ‘membacok’, ‘menusuk’, ‘mengepruk’, dsb.
Jadi, Mat 5:39 hanya berlaku untuk serangan yang tidak membahayakan jiwa
kita, bahkan boleh dikatakan merupakan serangan yang ringan.
o
Pada
waktu Yesus ditangkap dan dibunuh, Ia tidak melawan / membela diri.
Tetapi
perlu diingat bahwa Yesus memang datang ke dunia untuk mati menebus dosa kita.
Kalau waktu ditangkap dan mau dibunuh Ia melawan, bagaimana mungkin Ia menebus
dosa kita? Juga perlu dicamkan bahwa tidak setiap tindakan Yesus harus kita
teladani. Misalnya bahwa Ia berpuasa 40 hari, atau bahwa Ia tidak pernah kawin
/ pacaran, jelas tidak bisa dijadikan pedoman hidup kita. Jadi, tindakan
Yesuspun harus kita tafsirkan bersama ayat-ayat Kitab Suci yang lain, untuk
mengetahui apakah tindakan itu harus diteladani atau tidak.
o
Mat 26:51-54
- “(51) Tetapi seorang dari mereka yang
menyertai Yesus mengulurkan tangannya, menghunus pedangnya dan menetakkannya
kepada hamba Imam Besar sehingga putus telinganya. (52) Maka kata Yesus
kepadanya: ‘Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa
menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang. (53) Atau kausangka, bahwa Aku
tidak dapat berseru kepada BapaKu, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua
belas pasukan malaikat membantu Aku? (54) Jika begitu, bagaimanakah akan
digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan, bahwa harus terjadi
demikian?’”.
Ada 2 kemungkinan untuk menjelaskan
ayat ini sehingga ayat ini tidak diartikan bahwa orang Kristen sama sekali
tidak boleh membela diri:
Ø Ada orang yang menafsirkan bahwa
kata-kata ‘sebab barangsiapa
menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang’ tidak menunjuk kepada
Petrus (sekalipun diucapkan kepada Petrus). Lalu menunjuk kepada siapa? Kepada
orang-orang Romawi dan Yahudi, yang saat itu menggunakan ‘pedang’ terhadap
Yesus (mau membunuh Yesus). Jadi, seluruh kalimat diartikan sebagai berikut: “Masukkan pedangmu ke dalam sarungnya, sebab
orang-orang yang menggunakan pedang terhadap Aku ini akan binasa oleh pedang
(Bapa yang membinasakan mereka, kamu tidak perlu membunuh mereka)”.
Ø Yang menganggap bahwa kata-kata ini
ditujukan kepada Petrus, menafsirkan bahwa pada saat itu Petrus tidak boleh
melawan karena:
v
kekristenan
tidak boleh dimajukan / dibela dengan menggunakan kekerasan.
pada saat itu yang mau mengangkap dan membunuh Yesus adalah
pemerintah / alat negara. Karena itu tidak boleh dilawan.
Jadi, kata-kata ini tidak berlaku pada saat kasusnya adalah
pribadi berusaha membunuh pribadi.
Kalau pembelaan diri diijinkan, maka jelas bahwa belajar
ilmu bela diri, selama tidak ada unsur-unsur yang tidak alkitabiah seperti
tenaga dalam dsb, juga diijinkan!
2) Pembunuhan dalam perang / pembelaan
diri nasional.
·
Ini
harus merupakan perang yang benar (just war).
Saya tekankan bahwa ini merupakan perang yang benar. Jadi,
pembelaan diri secara nasional ini terjadi pada saat negara diserang / diagresi
secara tidak benar oleh negara lain. Kalau perang itu adalah perang yang salah,
seperti mengagresi negara lain, maka tentu saja orang Kristen tidak boleh ikut
perang seperti itu.
Catatan: kasus ‘holy war’ (= perang
kudus) dalam Perjanjian Lama merupakan sesuatu yang berbeda, karena Tuhan
yang memerintahkan hal itu. Dalam hal itu Israel menjadi algojo Tuhan
untuk menghukum mati bangsa-bangsa kafir itu. Perang seperti ini tidak ada
lagi dalam jaman sekarang.
·
Apa
dasarnya untuk mengijinkan pembunuhan dalam perang yang benar?
Kalau pembelaan diri pribadi
diijinkan, maka jelas pembelaan diri secara nasional (bukan agresi ke negara
lain!) juga harus diijinkan.
Kalau ada orang yang melarang perang
secara mutlak dengan alasan bahwa kita harus mengasihi musuh, perlu diingat
bahwa pada saat negara kita diserang musuh, akan ada banyak orang di negara
kita yang dibunuh, diperkosa, dirampok dalam serangan negara lain tersebut.
Lalu, dimana kasih kita kepada orang-orang itu?
Hal lain yang mendukung diijinkannya
pembelaan diri nasional adalah bahwa Kitab Suci (bahkan Perjanjian Baru) tidak
melarang seseorang menjadi tentara. Bandingkan dengan:
Luk 3:14 - “Dan prajurit-prajurit bertanya juga
kepadanya: ‘Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?’ Jawab Yohanes kepada
mereka: ‘Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan
gajimu.’”.
Kis 10:1 - “Di Kaisarea ada seorang yang bernama
Kornelius, seorang perwira pasukan yang disebut pasukan Italia”.
Orang-orang
ini tidak diperintahkan untuk berhenti menjadi tentara.
1Raja 2:5-6 - “(5) Dan lagi engkaupun mengetahui apa yang
dilakukan kepadaku oleh Yoab, anak Zeruya, apa yang dilakukannya kepada kedua
panglima Israel, yakni Abner bin Ner dan Amasa bin Yeter. Ia membunuh mereka
dan menumpahkan darah dalam zaman damai
seakan-akan ada perang, sehingga sabuk pinggangnya dan kasut kakinya
berlumuran darah. (6) Maka bertindaklah dengan bijaksana dan janganlah
biarkan yang ubanan itu turun dengan selamat ke dalam dunia orang mati”.
Bandingkan dengan:
2 Sam 3:27-29 - “(27) Ketika Abner kembali ke Hebron, maka
Yoab membawanya sebentar ke samping di tengah-tengah pintu gerbang itu,
seakan-akan hendak berbicara dengan dia dengan diam-diam; kemudian
ditikamnyalah dia di sana pada perutnya, sehingga mati, membalas darah Asael,
adiknya. (28) Ketika hal itu didengar Daud kemudian, berkatalah ia: ‘Aku dan
kerajaanku tidak bersalah di hadapan TUHAN sampai selama-lamanya terhadap darah
Abner bin Ner itu. (29) Biarlah itu ditanggung oleh Yoab sendiri dan seluruh
kaum keluarganya. Biarlah dalam keturunan Yoab tidak putus-putusnya ada orang
yang mengeluarkan lelehan, yang sakit kusta, yang bertongkat, yang tewas oleh
pedang atau yang kekurangan makanan’’.
2 Sam 20:9-12 - “(9) Berkatalah Yoab kepada Amasa: ‘Engkau
baik-baik, saudaraku?’ Sementara itu tangan kanan Yoab memegang janggut Amasa
untuk mencium dia. (10) Amasa tidak awas terhadap pedang yang ada di tangan
Yoab itu; Yoab menikam pedang itu ke perutnya, sehingga isi perutnya tertumpah
ke tanah. Tidak usah dia ditikamnya dua kali, sebab ia sudah mati. Lalu Yoab
dan Abisai, adiknya, terus mengejar Seba bin Bikri. (11) Dan seorang dari
orang-orang Yoab tinggal berdiri di dekat mayat itu, sambil berkata: ‘Siapa
yang suka kepada Yoab dan siapa yang memihak kepada Daud, baiklah mengikuti
Yoab!’ (12) Dalam pada itu Amasa terguling mati dalam darahnya di tengah-tengah
jalan raya. Ketika orang itu melihat, bahwa seluruh rakyat berdiri menonton, maka
disingkirkannya mayat Amasa dari jalan raya ke padang, lalu dihamparkannya kain
di atasnya, karena dilihatnya, bahwa setiap orang yang datang ke sana berdiri
menonton”.
Yoab membunuh pada masa damai, dan
itu sebabnya Daud mengecam dia. Yoab pasti sudah banyak membunuh musuh pada
masa perang, dan itu tidak pernah dikecam oleh Daud. Ini menunjukkan bahwa
membunuh musuh pada perang merupakan sesuatu yang dijinkan!
3) Seluruh proses penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman mati, asalkan hal ini dilakukan berdasarkan kebenaran /
keadilan.
Banyak
orang kristen yang tidak menyetujui adanya hukuman mati, dengan alasan bahwa
itu merupakan sesuatu yang tidak kasih, tidak menghargai nyawa manusia, tidak
alkitabiah, tidak kristiani, dan juga karena mereka menganggap bahwa orang yang
dihukum mati itu tidak diberi kesempatan bertobat. Tetapi semua ini merupakan
pandangan yang salah, karena:
·
Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru jelas menyetujui adanya hukuman mati!
Kej 9:6 - “Siapa
yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab
Allah membuat manusia itu menurut gambarNya sendiri”.
Kel 21:15 - “Siapa
yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati”.
Im 20:10 - “Bila
seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan
isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang berzinah itu”.
Bil 35:31 - “Janganlah
kamu menerima uang tebusan karena nyawa seorang pembunuh yang kesalahannya
setimpal dengan hukuman mati, tetapi pastilah ia dibunuh”.
Ul 13:5 - “Nabi
atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad
terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan
yang menebus engkau dari rumah perbudakan - dengan maksud untuk menyesatkan
engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani.
Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.
Ro 13:4 - “Karena
pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat
jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang.
Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang
berbuat jahat”.
·
Paulus
menyatakan bahwa ia rela dihukum mati kalau ia memang layak untuk itu.
Kis 25:11 - “Jadi,
jika aku benar-benar bersalah dan berbuat sesuatu kejahatan yang setimpal
dengan hukuman mati, aku rela mati, tetapi, jika apa yang mereka tuduhkan
itu terhadap aku ternyata tidak benar, tidak ada seorangpun yang berhak
menyerahkan aku sebagai suatu anugerah kepada mereka. Aku naik banding kepada
Kaisar!”.
·
Kalau
seorang pembunuh tidak dihukum mati, maka kita tidak menghargai nyawa dari
korban pembunuhan tersebut.
John Stott: “Those who
campaign for the abolition of the death penalty on the ground that human life
(the murderer’s) should not be taken tend to forget the value of the life of
the murderer’s victim” [=
Mereka yang berkampanye untuk penghapusan hukuman mati dengan dasar bahwa nyawa
/ kehidupan manusia (dari si pembunuh) tidak boleh diambil, cenderung untuk
melupakan nilai dari nyawa / kehidupan dari korban dari si pembunuh] - ‘The
Message of the Sermon of the Mount’, hal 83.
·
Orang
yang dijatuhi hukuman mati itu bukannya tidak diberi kesempatan untuk bertobat.Orang
yang dijatuhi hukuman mati tetap mempunyai kesempatan bertobat, karena saat di
antara penjatuhan keputusan hukuman mati dan pelaksanaan hukuman mati itu, bisa
ia pergunakan untuk bertobat dan percaya kepada Yesus. Kalau ia melakukan hal
itu, sekalipun ia mati, ia tetap selamat / masuk surga.
Euthanasia (= pembunuhan karena ‘belas kasihan’),
baik secara aktif maupun pasif.
Biasanya ini dilakukan terhadap
orang yang sudah sakit berat, sangat menderita (kesakitan), dan tidak ada
harapan untuk sembuh, lalu dibunuh oleh dokter (aktif), atau dibiarkan mati
tanpa diberi pertolongan (pasif). Kadang-kadang ini dilakukan atas permintaan
si penderita itu sendiri. Ini semua dilarang, karena tetap merupakan suatu
pembunuhan! Tuhan pasti tetap mempunyai rencana dengan membiarkan orang itu
hidup, dan karena itu kita tidak berhak mengambil nyawa orang itu.
Yang memusingkan adalah kalau
keluarga dari si sakit itu sudah tidak mempunyai uang untuk membiayai
penyambungan nyawa dari si sakit!
Bunuh diri.
Alasannya:
·
Diri
kita diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya diri kita dan nyawa kita adalah milik
Tuhan. Jadi kita tidak berhak membunuh diri kita sendiri, dengan alasan bahwa
nyawa kita adalah milik kita sendiri dan karena itu boleh kita perlakukan semau
kita.
Mat 22:39 memerintahkan kita
mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Dan membunuh diri jelas tidak
mengasihi diri sendiri.
·
Dalam
Kis 16:27-28 Paulus melarang kepala penjara itu membunuh diri
Kis 16:27-28 - “(27) Ketika kepala penjara itu terjaga dari
tidurnya dan melihat pintu-pintu penjara terbuka, ia menghunus pedangnya hendak
membunuh diri, karena ia menyangka, bahwa orang-orang hukuman itu telah
melarikan diri. (28) Tetapi Paulus berseru dengan suara nyaring, katanya:
‘Jangan celakakan dirimu, sebab kami semuanya masih ada di sini!”.
·
Kita
harus memuliakan Tuhan, baik dengan hidup kita maupun dengan kematian kita
1Kor 10:31 - “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau
melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”
Fil 1:20 - “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala
hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang,
Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun
oleh matiku”
Sedangkan kematian dengan bunuh diri
jelas tidak memuliakan Tuhan.
Melakukan hal-hal yang membahayakan
diri sendiri, seperti ngebut, dan sebagainya
Di TV ada banyak acara yang
menunjukkan orang-orang yang senang membahayakan nyawanya sendiri, seperti
menjadi matador, menjadi pembalap, meloncati deretan mobil dengan menggunakan
motor / mobil, mendekati binatang-binatang buas seperti singa, buaya atau ikan
hiu, dan sebagainya. Ini semua merupakan hal yang salah!
Tidak mau menjaga kesehatan /
melakukan hal-hal yang merusak kesehatan, seperti:
·
sakit
tetapi tidak mau ke dokter / minum obat.
·
tidak
mau berpantang demi kesehatannya.
Misalnya: punya tekanan darah tinggi
tetapi terus makan makanan yang asin, punya diabetes tetapi terus makan yang
manis-manis, punya kolesterol tinggi tetapi terus makan makanan berkolesterol
tinggi, dsb.
·
merokok
(termasuk menjadi perokok pasif).
·
menggunakan
narkotik, ecstasy, pil koplo, dan sebagainya
·
menggunakan
minuman keras secara berlebihan.
Melakukan
hal-hal yang membahayakan orang lain.
Kel 21:28-32 - “(28) Apabila seekor lembu menanduk seorang
laki-laki atau perempuan, sehingga mati, maka pastilah lembu itu dilempari mati
dengan batu dan dagingnya tidak boleh dimakan, tetapi pemilik lembu itu bebas
dari hukuman. (29) Tetapi jika lembu itu sejak dahulu telah sering menanduk dan
pemiliknya telah diperingatkan, tetapi tidak mau menjaganya, kemudian lembu itu
menanduk mati seorang laki-laki atau perempuan, maka lembu itu harus dilempari
mati dengan batu, tetapi pemiliknyapun harus dihukum mati. (30) Jika dibebankan
kepadanya uang pendamaian, maka haruslah dibayarnya segala yang dibebankan
kepadanya itu sebagai tebusan nyawanya. (31) Kalau ditanduknya seorang anak
laki-laki atau perempuan, maka pemiliknya harus diperlakukan menurut peraturan
itu juga. (32) Tetapi jika lembu itu menanduk seorang budak laki-laki atau
perempuan, maka pemiliknya harus membayar tiga puluh syikal perak kepada tuan
budak itu, dan lembu itu harus dilempari mati dengan batu”.
Abortus / pengguguran kandungan.
Di USA, mulai tahun 1973-1986
terjadi 20 juta aborsi! Ini lebih banyak dari penduduk Los Angeles dan New York
City digabung menjadi satu!
Bagaimanapun kecilnya, bayi dalam
kandungan itu sudahlah merupakan seorang manusia. Karena itu pengguguran
kandungan jelas merupakan pembunuhan.
Dalam memutuskan pengguguran,
biasanya yang diperhitungkan adalah ibu dari si bayi, sedangkan si bayi tidak
diperhitungkan. Misalnya: ibunya mengandung di luar nikah, atau mengandung
karena pemerkosaan. Dari pada ibunya malu, si bayi digugurkan. Ini salah!
Bayinya harus diperhitungkan. Si pemerkosa memang pantas dihukum mati, tetapi
apa salahnya bayi itu sehingga harus dibunuh?
Kadang-kadang orang melakukan
abortus karena dokter berkata anak itu akan lahir cacat. Perlu diingat bahwa
kalau abortus bisa dibenarkan berdasarkan alasan ini, maka konsekwensinya
adalah: anak dan orang dewasa yang cacat juga boleh dibunuh!
Dalam Buletin ‘Disciples’,
terbitan Perkantas Jatim, Edisi April - Juni 2000, hal 12, ada suatu artikel
yang menarik yang berhubungan dengan abortus, yang saya kutip di bawah ini:
“ Seandainya
anda setuju aborsi .....
a. Ada
seorang pendeta dan istrinya yang sangat, sangat miskin. Mereka mempunyai 14
anak. Sekarang mereka mengetahui bahwa sang istri sedang mengandung anak mereka
ke 15. Mereka hidup dalam kemiskinan yang amat sangat. Mengingat kemiskinan dan
ledakan penduduk dunia, apakah anda menganjurkan dia untuk aborsi?
b. Seorang
ayah sakit sniffles, sang ibu kena TBC. Mereka punya 4 anak, pertama buta,
kedua meninggal, ketiga tuli, keempat kena TBC. Sang ibu mengandung lagi,
apakah anda menganjurkan aborsi?
c. Seorang
lelaki kulit putih memperkosa dan menghamili seorang gadis kulit hitam yang
berusia 13 tahun. Jika anda orangtua kandung dari gadis itu apakah anda
menganjurkan aborsi?
d. Seorang
pemudi hamil. Dia belum menikah. Tunangannya bukanlah ayah dari bayi tersebut,
dan ia hendak meninggalkan gadis tersebut. Apakah anda menganjurkan aborsi?”.
Di bawah artikel itu, jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu ditulis secara terbalik, dan berbunyi sebagai
berikut:
a.
Ketahuilah jika anda menganjurkan aborsi pada kasus
ini berarti anda baru saja membunuh John Wesley, seorang penginjil besar pada
abad ke 19.
b.
Jika anda menganjurkan aborsi pada kasus ini berarti
anda baru saja membunuh Beethoven, seorang komposer lagu-lagu rohani ternama
didunia.
c.
Jika anda menganjurkan aborsi pada kasus ini berarti
anda baru saja membunuh Ethel Waters, seorang penyanyi black Gospel ternama
didunia.
d. Jika anda
menganjurkan aborsi pada kasus ini berarti anda telah membunuh Yesus,
Juruselamat kita.
Penggunaan alat KB tertentu, yang
sifatnya abortive / menggugurkan (menghancurkan sel telur dan sperma
yang sudah bertemu), seperti spiral. Alat KB lain yang bersifat mencegah
pertemuan sperma dengan sel telur, seperti kondom, tidak dilarang. Demikian
juga dengan pil KB, yang cara kerjanya membuat sel telur tidak bisa matang
sehingga tidak bisa dibuahi. Ini boleh digunakan.
Proses pembuatan bayi tabung.
Sebetulnya saya berpendapat bahwa
pembuatan bayi tabung tidak salah, selama pembuatannya menggunakan sperma dan
sel telur dari sepasang suami istri. Tetapi biasanya dalam proses pembuatan
bayi tabung, karena mahalnya biaya pembuatan bayi tabung itu, maka tidak dibuat
hanya satu bayi tetapi beberapa bayi, dan nanti hanya dipilih salah satu
sedangkan yang lain dimusnahkan. Pemusnahan bayi-bayi yang lain ini yang
termasuk dalam pembunuhan.
Pembunuhan non fisik.
Ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi menafsirkan hukum ke 6, sebagai larangan terhadap pembunuhan secara
fisik / lahiriah saja, tetapi Yesus dan Perjanjian Baru menerapkannya pada
hal-hal lain, yaitu:
a. Benci.
1
Yoh 3:15a - “Setiap orang yang membenci
saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia”.
b. Mat 5:21-26 - “(21) Kamu telah mendengar yang difirmankan
kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.
(22) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya
harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke
Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka
yang menyala-nyala. (23) Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu
di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu
terhadap engkau, (24) tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan
pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan
persembahanmu itu. (25) Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau
bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan
engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan
engkau dilemparkan ke dalam penjara. (26) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai
lunas”.
Ada 4 hal yang dibicarakan oleh text
ini, yang bukan merupakan pembunuhan fisik, tetapi semuanya dihubungkan dengan
hukum ke 6 ini:
a. Marah (ay 22a).
Tidak
semua kemarahan adalah dosa.
Ay 22a
(KJV): ‘But I say unto you, That whosoever is angry with his brother without
a cause shall be in danger of the judgment’ (= Tetapi Aku berkata
kepadamu: Bahwa siapapun yang marah kepada saudaranya tanpa alasan akan
ada dalam bahaya penghakiman).
Kata-kata ‘without
a cause’ (= tanpa alasan) hanya ada dalam manuscripts tertentu.
Stott
mengatakan (hal 83) bahwa sekalipun kata-kata ‘without a cause’ itu
mungkin sekali tidak orisinil, tetapi kata-kata itu memberikan penafsiran yang
benar tentang apa yang Yesus maksudkan, karena jelas bahwa tidak semua
kemarahan merupakan dosa. Terlepas dari asli atau tidaknya, atau benar atau
tidaknya, kata-kata ‘without a cause’ itu dalam terjemahan KJV ini, Kitab
Suci jelas tidak menganggap semua kemarahan sebagai dosa. Ini terlihat dari:
·
Ef 4:26
yang berbunyi: ‘Apabila kamu menjadi
marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam
amarahmu’, jelas menunjukkan bahwa ‘marah’ tidak selalu identik dengan
‘dosa’, dan bahwa kita bisa marah tetapi tidak berdosa.
·
Yesus
berulangkali marah (Mark 3:5 Yoh 2:13-17), tetapi Kitab Suci
tetap mengatakan bahwa Yesus tidak berdosa (Ibr 4:15).
Mark 3:5 - “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan
marah Ia memandang sekelilingNya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang
itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya
itu”.
Yoh 2:13-17 - cerita dimana Yesus
mengobrak-abrik Bait Suci.
·
Kemarahan
jemaat Efesus terhadap rasul-rasul palsu dipuji (Wah 2:2), dan sebaliknya
ke‘sabar’an jemaat Korintus terhadap rasul-rasul palsu justru dikecam
(2Kor 11:4).
Wah 2:2 - “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih
payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar
terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut
dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah
mendapati mereka pendusta”.
2Kor 11:4 - “Sebab kamu sabar saja, jika ada
seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami
beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu
terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima”.
Kemarahan yang benar biasanya adalah
kemarahan yang dilandasi oleh kasih, dan ditujukan terhadap dosa,
ketidak-adilan, penindasan, dan kesesatan.
Contoh:
o
orang
tua yang marah kepada anak yang nakal.
o
orang
kristen yang marah karena adanya ajaran sesat atau karena adanya korupsi dalam
gereja.
o
kita
marah karena adanya terorisme.
o
kita
marah mendengar orang yang bersalah dibebaskan / orang yang tidak bersalah
dihukum oleh pengadilan.
Perlu dicamkan bahwa sekalipun
kemarahan seperti ini merupakan kemarahan yang benar, tetapi kalau
perwujudannya kelewat batas maka itu menjadi salah / dosa. Misalnya kalau
kemarahan terhadap anak diwujudkan dengan memaki anak atau memukul sehingga
mencederai anak tersebut.
·
Tetapi
jelas ada banyak kemarahan yang memang merupakan dosa, dan mungkin sebagian
besar kemarahan kita, tidak bisa disebut sebagai ‘holy anger’ (=
kemarahan yang suci), dan memang merupakan dosa. Dan ini dihubungkan oleh Yesus
dengan hukum ke 6 (ay 21). Jadi, kemarahan seperti itu merupakan
pembunuhan dalam hati / pikiran.
·
Kata
‘saudara’ dalam ay 22
kelihatannya harus diartikan bukan sebagai ‘saudara seiman’, tetapi sebagai
‘sesama manusia’, atau ‘siapapun yang mempunyai hubungan dengan kita’.
b. Mencaci-maki / mengeluarkan
kata-kata yang bersifat menghina (ay 22b,c).
ü Mengatakan ‘kafir’ (ay 22b).
Arti kata
ini sebenarnya.
RSV: ‘whoever insults his
brother’ (= siapapun menghina saudaranya).
KJV/NIV/NASB tidak menterjemahkan
kata ini, tetapi hanya mentransliterasikan (mengganti huruf-huruf Yunaninya
dengan huruf Latin) sebagai ‘Raca’.
D. Martyn Lloyd-Jones: “‘Raca’ means ‘worthless fellow’” (= ‘Raca’ berarti ‘orang yang tidak berharga’) - ‘Studies in
the Sermon on the Mount’, hal 224.
John Stott mengatakan (hal 84)
bahwa kata ‘Raca’ itu mungkin sama dengan kata Aram yang berarti ‘empty’
(= kosong).
Tasker (Tyndale) mengatakan bahwa
kata ‘Raca’ tidak terlalu berbeda dengan MORE (yang digunakan dalam
ay 22c) yang artinya ‘bodoh / tolol’ (dalam Kitab Suci Indonesia
diterjemahkan ‘jahil’).
Barclay: “Raca is an almost untranslatable word, because it describes a tone of
voice more than anything else. Its whole accent is the accent of contempt. To
call a man Raca was to call him a brainless idiot, a silly fool, an
empty-headed blunderer. It is the word of one who despises another with an
arrogant contempt” (= Raca
hampir tidak bisa diterjemahkan, karena kata itu lebih menggambarkan nada suara
dari pada apapun yang lain. Seluruh penekanannya merupakan penekanan penghinaan
/ kejijikan. Menyebut seseorang sebagai Raca berarti menyebutnya sebagai
seorang idiot yang tidak mempunyai otak, seorang tolol, seorang pembuat
kesalahan yang kepalanya kosong) - hal 139.
ü Orang yang mengatakan Raca lebih bersalah
dari pada orang yang marah (point no 1 di atas).
Sama seperti kemarahan, mengatakan
Raca juga dinyatakan oleh Yesus sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6. Tetapi
kalau ay 22a mengatakan bahwa orang yang marah ‘harus dihukum’ [NASB: ‘liable to the court’ (= bisa
dihadapkan ke pengadilan)], maka ay 22b mengatakan bahwa orang yang
mengatakan ‘Raca’ harus ‘dihadapkan ke
Mahkamah Agama (Sanhedrin)’.
Saya setuju dengan William Barclay yang mengatakan (hal 140) bahwa ini tidak
boleh diartikan secara hurufiah. Artinya hanyalah bahwa tindakan yang kedua ini
(ay 22b) merupakan dosa yang lebih besar dari pada tindakan pertama (ay
22a).
Penerapan: sekalipun pada waktu saudara marah
secara salah saudara sudah berdosa, tetapi kalau bisa tetap tahanlah mulut
saudara supaya tidak mengeluarkan kata-kata hinaan, karena ini akan membuat
saudara jatuh ke dalam dosa yang lebih besar.
ü Mengatakan ‘jahil’ (ay 22c).
Kata ‘jahil’ ini jelas merupakan
terjemahan yang salah.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘fool’ (=
bodoh / tolol).
Kata Yunani yang dipakai adalah
MORE, dan Adam Clarke mengatakan (hal 71) bahwa mungkin itu berasal dari kata
bahasa Ibrani MARAH, yang berarti ‘memberontak’ atau ‘murtad’. Jadi mungkin
bisa diartikan sebagai ‘sesat’. Tetapi Clarke mengatakan bahwa ini hanya
bersalah, kalau si penuduh / pemaki itu tidak bisa membuktikan tuduhan /
makiannya tersebut.
Barclay mengatakan (hal 140) bahwa
sekalipun kata Yunaninya bisa diartikan ‘bodoh’ / ‘tolol’, tetapi kalau kita
menyebut seseorang dengan kata ini, maka artinya adalah bahwa orang itu ‘bodoh
secara moral’. Ini berarti kita mencap orang tersebut sebagai orang yang tidak
bermoral, dan dengan demikian merusak reputasi orang tersebut.
Mengatakan seseorang sebagai bodoh /
tolol, tidak selalu merupakan dosa.
Dalam Mat 23:17 Yesus sendiri
berkata kepada / tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan
kata-kata sebagai berikut: “Hai kamu orang-orang
bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci
yang menguduskan emas itu?”.
Kata Yunani yang digunakan dalam
Mat 23:17 ini sama dengan yang digunakan dalam Mat 5:22, hanya saja
dalam Mat 23:17 ini digunakan bentuk jamak.
Bandingkan juga dengan Yes
19:13 Yer 4:22 Yer 5:21 Hos 7:11 Luk 11:40
24:25 Ro 1:22 1Kor 15:36 2Kor 11:19
Gal 3:1 1Pet 2:15 dimana Yesus / rasul-rasul / nabi-nabi juga
mengatakan seseorang sebagai ‘bodoh’. Tetapi dalam semua ayat-ayat ini, kata
bahasa Yunaninya berbeda dengan yang digunakan dalam Mat 5:22 dan Mat 23:17.
Dari semua ini harus disimpulkan bahwa
sama seperti marah, maka mengatakan ‘bodoh’ / ‘tolol’ hanya salah, kalau hal
itu dilandasi kebencian atau emosi yang tidak terkendali.
c. Adanya ‘ganjelan’ yang belum
dibereskan dalam hati saudara kita terhadap kita (ay 23-24).
ü Apa yang dimaksud dengan ‘ganjelan’
itu?
William Hendriksen beranggapan (hal
300) bahwa ‘ganjelan’ itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang remeh / kecil,
karena kalau demikian, alangkah sedikitnya orang yang bisa berbakti kepada
Allah. Jadi ia beranggapan bahwa ‘ganjelan’ itu haruslah sesuatu yang
cukup penting / besar. Tetapi saya berpendapat bahwa kata-kata ini sukar
dipraktekkan, karena besar atau kecil merupakan sesuatu yang relatif.
Selanjutnya Hendriksen membahas
apakah orang yang mempunyai ganjelan terhadap kita itu harus benar, baru kita
wajib melakukan ay 23-24 ini? Atau apakah sekalipun ia tidak benar, tetapi
ia menyangka bahwa ia benar, kita tetap wajib melakukan ay 23-24 ini?
Hendriksen mengatakan bahwa Lenski
berpendapat bahwa orang yang mempunyai ganjelan itu harus benar. Matthew Poole
juga mengatakan (hal 23) bahwa orang itu harus mempunyai ‘just reason’
(= alasan yang benar).
Tetapi Hendriksen sendiri
beranggapan bahwa kalaupun saudara kita itu salah, tetapi kalau ia mengira
dirinya benar, sehingga ia mempunyai ganjelan terhadap kita, maka kita tetap
harus mengusahakan perdamaian dengan dia (bukan minta maaf, tetapi menjelaskan
/ memberi pengertian kepadanya). Dan kelihatannya Pulpit Commentary mempunyai
pandangan yang sama dengan Hendriksen.
Pulpit Commentary: “It is noteworthy that our Lord in this verse does not define on whose
side the cause of the quarrel lies” (= Perlu diperhatikan bahwa Tuhan kita dalam ayat ini tidak
mendefinisikan pada sisi siapa penyebab pertengkaran ini terletak) - hal
162.
Satu hal lain yang ingin saya
tambahkan adalah: kalau kita disuruh berinisiatif untuk membereskan suatu
‘ganjelan’ yang ada dalam diri saudara kita, apalagi kalau ‘ganjelan’ itu ada
dalam diri kita sendiri! Adakah saudara seiman / orang di sekitar saudara
terhadap siapa saudara mempunyai ‘ganjelan’? Bawa itu kepada Tuhan, dan
bereskan! Bahkan mungkin sekali untuk membereskan hal itu, saudara harus datang
kepada orang tersebut, dan membicarakannya!
Bagaimana kalau kita sudah
mengusahakan perdamaian secara benar, tetapi orang tersebut tidak mau berdamai?
Pulpit Commentary: “The Christian
can never excuse himself by saying, ‘My brother will not be reconciled to me.’
He must be; and the Christian must not rest until he is. The burden of right
relations rests on him” (= Orang kristen tidak pernah bisa beralasan dengan berkata: ‘Saudaraku
tidak mau diperdamaikan dengan aku’. Ia harus; dan orang kristen itu tidak
boleh berhenti sampai ia mau. Beban dari hubungan yang benar ada pada orang
kristen itu) - hal 225.
Saya berpendapat bahwa kata-kata ini salah. Clarke
mengatakan (hal 72) bahwa kalau kita sudah berusaha untuk berdamai, tetapi
orang itu tidak mau, maka itu tidak akan menghalangi ibadah kita kepada Allah.
Bdk. Ro 12:18 - “Sedapat-dapatnya,
kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua
orang!”.
Calvin:
“so long as a difference with our
neighbour is kept up by our fault, we have no access to God” (= selama suatu perbedaan dengan sesama kita
dipelihara / dipertahankan oleh kesalahan kita, kita tidak mempunyai
akses kepada Allah) - hal 286.
Mengapa hal seperti ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum
ke 6?
D. Martyn Lloyd-Jones: “the
commandment not to kill really means we should take positive steps to put
ourselves right with our brother” (= perintah untuk tidak membunuh berarti bahwa kita harus mengambil
langkah-langkah yang positif untuk meluruskan / memperbaiki hubungan kita
dengan saudara kita) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal
227.
d. Ada hutang yang belum dibayar (ay
25-26).
Hutang yang tidak dibayar jelas akan merupakan suatu
ganjelan dalam diri orang yang memberi hutang, dan karena itu orang kristen
harus secepatnya membereskan hutangnya.
Sebetulnya berhutang saja sudah merupakan sesuatu yang
memalukan, apalagi kalau berhutang dan tidak membayar hutangnya. Kitab Suci
menggambarkan orang yang berhutang dan tidak membayar kembali sebagai orang
fasik.
Maz 37:21a - “Orang
fasik meminjam dan tidak membayar kembali”.
Kontras dan persamaan.
Ada kontras antara ay 22-24 dengan ay 25-26. Yang
pertama berurusan dengan ‘saudaranya’
(ay 22) / ‘saudaramu’
(ay 23), dan yang kedua berurusan dengan ‘lawanmu’ (ay 25).
Tetapi juga ada persamaan antara ay 23-24 dengan
ay 25-26, yaitu ada ganjelan dalam diri orang tersebut terhadap kita, dan
ini harus dibereskan. Persamaan yang lain adalah bahwa dalam kedua kasus,
persoalannya harus dibereskan dengan secepatnya (jangan ditunda-tunda).
Barclay:
“When personal relations go wrong,
in nine cases out of ten immediate action will mend them; but if that immediate
action is not taken, they will continue to deteriorate, and the bitterness will
spread in an ever-widening circle” (= Pada waktu hubungan pribadi rusak, dalam 9 dari 10 kasus, tindakan
langsung / segera akan memperbaikinya; tetapi jika tindakan langsung / segera
itu tidak dilakukan, hubungan itu akan terus memburuk, dan kepahitan akan
menyebar makin lama makin luas) - hal 145.
Renungkan: berapa kali saudara
melanggar hukum ke 6 ini?
Pdt.
Budi Asali, M.Div.
golgotha_ministry@yahoo.com